}

Pendekatan Gizi Dalam Pendidikan

Oleh : Kisworo*)

    Ketika sempat mengintip daftar hadir pelatihan “Sosial Enforcement” yang diadakan oleh Dinas Kesehatan penulis cukup heran, sebab bagaimana tidak, hampir seluruh elemen masyarakat ternyata ada di dalamnya. Ada pesan yang dapat ditangkap bahwa panitia seolah-olah punya tekad untuk memobilisasi seluruh potensi yang ada dalam mensukseskan kegiatan yang mengusung tema “Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)“. Hadir dalam kegiatan tersebut dari Komisi D DPRD, 6 unsur Camat, Dinas Instansi kabupaten, Bapeda, LSM, Tim penggerak PKK, Organisasi kemasyarakatan, Asosiasi Pedagang Garam, dan yang paling banyak adalah pendidik, bahkan media Kedaulatan Rakyat ada didalamnya. Keinginan Dinas kesehatan membumikan hal ini melalui jalur pendidikan karena gurulah yang sangat strategis bersentuhan langsung dengan siswa yang kelak akan menjadi calon keluarga.
 
Kekurangan zat ini memang tidak menyebabkan kematian tetapi yang lebih parah adalah efek sosialnya, karena menyangkut masalah kualitas dan sumber daya manusia yang jelas-jelas akan berpengaruh terhadap produktifitasnya bahkan dalam taraf tertentu akan menjadi beban tersendiri bagi masyarakat. Indonesia masuk endemisitas nomor pertama penyakit gangguan akibat kekurangan iodium selain Tibet dan Cina. Hasil penelitian dari Toto Sudargo (2003) dari Magister Gizi dan Kesehatan- UGM di daerah Cangkringan, Sleman menyatakan anak sekolah yang mengidap kekurangan iodium pada grade 1 dan 2 atau yang berat dan sedang ternyata selalu kalah bersaing dengan rekan-rekannya yang normal, indikatornya kelemahan dalam menghitung, mengulang kata dan menyelesaikan sebuah persoalan. Hasil pemetaan dinas kesehatan di Gunungkidul sendiri ada sekitar 6 kecamatan yang masuk dalam katagori endemik gangguan akibat kekurangan iodium. Walaupun penyakit ini menimpa segala level umur tetapi berdasarkan penelitian paling rawan adalah pada ibu hamil bagi calon janin 10 minggu masa konsepsi, sehingga jika pemerintah lengah maka kita akan kehilangan satu generasi ( lost generation).
 
Salah satu bentuk intervensi penting yang harus dilaksanakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan GAKI adalah penggunaan garam beryodium dalam konsumsi di rumah tangga. Banyaknya garam konsumsi yang tidak mengandung iodium cukup (>30 ppm) yang beredar di pasar merupakan faktor penghambat pencapaian program penanggulangan GAKI. Disisi lain, peraturan daerah (Perda) yang mengatur mekanisme dan distribusi garam di pasar belum ada sehingga penegakan hukum ( law enforcement) belum dapat dilaksanakan dengan baik.
 
Ditengah tengah tertatih-tatihnya isue masyarakat mendambakan penegakan hukum terutama  tema korupsi, kolusi dan nepotisme saja jauh panggang dari api, apalagi menyentuh bidang yang hanya bersifat imperatif sosial, sehingga mengandalkan pendekatan hukum jelas tidak efektif. Maka upaya lain yang mendesak untuk segera dilaksanakan adalah penegakan norma sosial (sosial enforcement) melalui mobilisasi dan peningkatan peran serta masyarakat dan stakeholder terkait.

Peran sekolah dalam pendidikan gizi
Kegiatan di lingkungan komunitas sekolah secara rutin lebih sering menekankan pada bagaimana praktis dan teknis metodologis pendidikan diterapkan. Kajian dan pendekatan karakteristik siswa sebagai input sumber daya manusia yang akan diolah seringkali diabaikan oleh pengelola sekolah. Hal ini wajar karena batas wilayah kemampuan mengontrol kualitas bukan ada pada wilayahnya, sekolah hanya mampu menerima sumber daya manusia yang ada dari bagian masyarakat sekitarnya. Padahal ditinjau dari aspek medis kualitas sumberdaya manusia sangat dipengaruhi oleh aspek gizi. Ambil contoh pada tingkat neonatal anak dan remaja saja Gangguan Akibat Kekurangan Iodium ( GAKI) bukan hanya gondok, terhambatnya pertumbuhan mental, menurunnya produktifitas kerja tetapi sudah masuk dalam spectrum penurunan kecerdasan atau IQ.
 
Integrasi program GAKI melalui pendidikan di sekolah merupakan langkah strategis untuk penanggulangan GAKI. Cukup tepat manakala dinas kesehatan sudah mulai membidik para guru. Pesan yang harus ditangkap dengan dijamahnya jalur pendidikan oleh dinas kesehatan yaitu bahwa wilayah ini mempunyai basis yang strategis untuk sosialisasi dan mengubah habit (baca; kebiasaan) dan menanamkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi garam beriodium minimal warga sekolah yang akan menjadi calon keluarga. Penurunan produktifitas kerja siswa juga dapat di amati dalam wilayah kelas ( karakteristik proses belajar mengajarnya).
 
Hukum kesiapan Thorndike (1979) dalam teori belajar menyebutkan bahwa jika suatu unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksakan untuk berkonduksi, maka konduksi itu menimbulkan ketidakpuasan. Ketidakpuasan bisa menjelma menjadi kelelahan mental dan fisik siswa sehingga menyebabkan kehilangan minat dan motivasi. Minat dan motivasi yang kurang, berdampak pada penyimpangan perilaku di kelas, antara lain lesu, ngantuk, tidak bergairah dan produktifitasnya rendah. Mungkin tidak mengherankan manakala angka ketidakberhasilan kelulusan ujian nasional tahun 2006 ini ternyata lebih banyak ada di kantong-kantong sekolah pinggiran yang punya peta rawan dan  endemis GAKI.
 
Pendidikan gizi juga tidak bermaksud untuk menambah beban pelajaran yang sudah ada, tetapi dapat melalui jalur integratif pada mata pelajaran tertentu dengan pendekatan lintas kurikulum. Penting dikaji bersama pula bahwa hendaknya bukan hanya masuk dalam ranah kognisi semata tetapi juga masuk tataran sikap mental dan implementasi. Perilaku boikot pembelian garam yang tidak beriodium dapat dijadikan contoh kecil indikator masuknya ranah sikap warga sekolah dan masyarakat. Kemampuan menguji kandungan iodium didalam produk garam tertentu walaupun secara sederhana sekalipun dapat sebagai indikator kemampuan psikomotor.
 
Pencanangan keluarga sadar gizi yang bertekad akan dituntaskan pada tahun 2009 oleh pemerintah, menuntut program-program pemerintah untuk selalu bersahabat dengan menyentuh basis masyarakat pinggiran yang miskin. Sebab akar persoalan utama masalah gizi pada mereka adalah kemiskinan yang berimbas pada ketersediaan pangan di rumah. Penyebab lainnya adalah pendidikan yang rendah dan persoalan budaya. Selama kemiskinan dan kelaparan masih melekat pada anak pinggiran maka peluang anak-anak tersebut untuk merebut mobilitas vertikal dengan sesamanya di kota akan terus termarginalkan. Kalau boleh mengutip tulisannya Jonatan Lassa (2006), melihat kelaparan tidak sama dengan mengerti kelaparan. “ Seeing is not the same as understanding”.
       

  *) Kepala Sekolah SMP 4 Semin.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendekatan Gizi Dalam Pendidikan"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda yang santun sebagai tanda mata persinggahan Anda, terimakasih